Media Sosial = Paparazzi

1984…

Warga Oceania tak dapat terlepas dari pengawasan ketat yang dijalankan oleh polisi pikiran dan telescreen. Sekali terdapat pikiran untuk melawan “Bung Besar”, maka dapat dipastikan tamatlah riwayatnya saat itu.

George Orwell dalam novel legendarisnya 1984 menggambarkan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan penggunaan teknologi canggih yang mampu membaca pikiran, gawai-gawai tersebut beredar di mana-mana dan bahkan diperkenankan memasuki ruang privat seperti rumah atau kamar tidur.

Secara sadar, manusia akan merasa risih bila mengetahui dirinya sedang diawasi. Namun entah diketahui atau tidak, aktivitas dunia maya kita selalu meninggalkan jejak digital yang diubah menjadi sejumlah algoritma. Angka-angka algoritma ini kemudian akan diubah menjadi data yang bisa diterjemahkan sebagai cara untuk mengetahui kebiasaan, perilaku, dan preferensi pribadi.

Siapapun yang menguasai data ini pada akhirnya memiliki cara untuk memanipulasi preferensi dan perilaku kita di dunia maya, entah itu digunakan untuk kepentingan politis seperti persuasi untuk memilih kandidat X, atau kustomisasi yang dilakukan oleh Google dan Facebook dalam mengiklankan produk tertentu di feed media sosial (Yuval Noah Harari, Homo Deus, 2015).

Kita memasuki era di mana ruang privat melebur menjadi ruang publik akibat penggunaan teknologi komunikasi. Tak mungkin tidak, kita berada dalam pengawasan!

Hasrat Untuk ‘Diawasi’

Tampaknya membuat konten viral pada saat ini merupakan obsesi para kreator konten media sosial pada hari ini. Semua berlomba untuk meningkatkan jumlah angka likes/views, sharesreach, hingga engagement untuk meningkatkan popularitas. Tak jarang ada pula yang rela membayar demi meningkatkan interaksi audiens di kanal media sosialnya (Jacob Silverman, Terms of Service: Social Media and the Price of Constant Connection, 2015).

Hampir semua pengguna akun media sosial (terutama mereka yang berprofesi sebagai konten kreator atau selebgram) berharap untuk mendapatkan perhatian dari pengguna media sosial lainnya. Keinginan untuk menambah jumlah pengikut (followers/subscribers), menjadi trending, dan masuk dalam posisi teratas di timeline media sosial seakan menjadi tujuan utama pembuatan konten daring.

Media sosial berubah menjadi semacam ‘alat pengawas’ yang memenuhi hasrat penggunanya untuk melihat dan dilihat. Setiap pemilik akun media sosial merasa bahwa selalu ada audiens yang ‘mengawasi’ postingan mereka seakan-akan Facebook, YouTube, dan Instagram adalah paparazzi. Maka dari itu laman media sosial harus ditata seapik mungkin untuk memuaskan selera audiens. Dengan demikian, semakin bertambahlah popularitas di dunia maya akibat meroketnya jumlah followers, likes, comments, dan shares.

Perasaan ‘diawasi’ oleh para pengguna media sosial lainnya menjadi candu, menciptakan ilusi bahwa seakan-akan selalu ada audiens yang senantiasa online untuk berinteraksi dengan konten media sosial yang diciptakan. Ilusi ‘diawasi’ ini memunculkan kebanggaan tentang eksistensi yang diakui di dunia maya, hingga akhirnya kita rela melakukan apapun demi menciptakan konten yang diawasi banyak netizen lainnya.

Mengawasi Jejak Digital Sendiri

Interaksi yang terjadi antara pengguna media sosial yang satu dengan yang lainnya telah menimbulkan social surveillance, di mana setiap pengguna media sosial memiliki akses dan kebebasan untuk saling bertukar informasi personal, mengomentari, dan memberikan feedback atas semua postingan di akun media sosial (Marwick, 2012).

Jejak digital akan selalu tersimpan dan bertahan selamanya. Hari ini post di Instagram bisa menjadi pendongkrak popularitas. Namun di kemudian hari konten tersebut berpotensi menjadi bumerang yang membahayakan keselamatan dan reputasi pribadi, sebab segala hal yang menyangkut informasi pribadi kita dapat ‘dibongkar’ lewat mesin pencari.

Segala informasi pribadi yang terlalu diumbar di dunia maya berpotensi disalahgunakan. Keterangan diri yang banyak terekspos di internet bisa menjadikan kita sebagai salah satu korban kejahatan siber seperti pencurian identitas (yang hampir semuanya terkoneksi hanya lewat satu akun email), kejahatan finansial perbankan (peretasan akun tabungan), cyberstalking, dan lainnya.

Bukan hanya berpotensi mengalami tindak kejahatan siber, postingan di media sosial pun dapat berdampak pada kondisi psikologis di masa depan. Tak ada yang dapat menjamin ‘kesetiaan’ audiens di laman media sosial pribadi kita. Hari ini berkomentar manis, namun pada kesempatan lainnya audiens dapat menjadi haters hanya karena postingan warna cat kuku yang tidak dia sukai (Brittany Hennessy, Influencer, 2018).

Pada akhirnya kita tak terlepas dari komentar pedas yang berubah menjadi bullyingbody shaming, dan public shaming. Semua komentar itu terarah untuk menyerang kepribadian kita. Pada tingkatan ekstrem, public shaming di dunia maya dapat menyebabkan seseorang mengalami depresi hingga ingin bunuh diri.

Himbauan untuk bijak bermedia sosial sudah sering digaungkan oleh instansi pemerintah hingga akademisi, pengamat, pegiat, dan aktivis media sosial. Namun lagi-lagi hasrat untuk menciptakan konten viral dan menjadi pusat perhatian warganet sering mengalahkan logika dan hati nurani untuk membuat konten yang bijak.

Jika sudah begitu, siapa hendak disalahkan?

*disclaimer: Tulisan ini merupakan saduran dari artikel berjudul Hasrat Untuk Diawasi Dalam Masyarakat Berjejaring yang diterbitkan dalam buku Distorsi Ruang Digital. Penulis artikel dan penulis buku adalah penulis yang sama.

More Posts

Send Us A Message