Beberapa waktu lalu, percakapan jagad maya diriuhkan oleh postingan YouTuber Gita Savitri yang mengungkapkan jika dirinya dan sang suami memutuskan untuk tidak memiliki anak atau childfree. Percakapan ini kian panas dengan segala kritik dan komentar kontra warganet terhadap sang YouTuber ketika akun Twitter Salman ITB ikut menanggapi keputusan Gita dan suami untuk childfree dengan menggunakan dalil agama.
Sebelumnya, artis Adhisty Zara juga dinilai kerap membuat kehebohan di lini masa media sosial karena sering membagikan momen intimnya bersama sang kekasih. Sontak warganet ikut bereaksi negatif dengan menghujat postingan Adhisty Zara sebagai skandal tak senonoh.
Terlepas dari segala tudingan netizen tentang postingan Gita Savitri maupun Adhisty Zara, dua pesohor ini sebenarnya hanya sedikit dari jutaan pengguna media sosial yang kini merasa nyaman untuk membagikan momen intim atau urusan pribadi di dunia maya. Hal-hal yang seharusnya bersifat privat kini telah menjadi konsumsi publik karena dibagikan lewat postingan di media sosial. Urusan pribadi ini pada akhirnya bukan hanya menuai komentar, melainkan juga menciptakan tren pada pengguna lainnya untuk mengikuti perilaku yang sama: berbagi urusan privat kepada khalayak virtual.
Pada dua dekade silam, tak terbayangkan oleh banyak orang untuk begitu berani mengumbar hal-hal yang bersifat pribadi dan tabu di depan publik, seperti momen bermesraan maupun pernyataan mengenai preferensi seksual. Namun beberapa tahun belakangan ini, masifnya penggunaan teknologi informasi, terutama aplikasi media sosial, menjadikan banyak pengguna berani mengekspos momen-momen privat di depan ratusan hingga jutaan ‘teman’ virtual.
Hari ini media sosial tidak lagi hanya mengaburkan batasan ruang publik dan ruang privat, melainkan sudah meniadakannya sama sekali. Saat ini begitu banyak pengguna media sosial yang terlihat nyaman untuk membagikan momen dan preferensi pribadi mereka kepada para teman virtual. Alasan terutama yang mendorong perilaku ini adalah demi sebuah kebebasan berekspresi di ruang maya yang tiada berbatas.
Namun selain kebebesan berekspresi, ada beberapa alasan lain yang mendorong warganet untuk tak sungkan mengekspos momen-momen pribadi di media sosial hingga yang terlihat intim sekalipun:
Mencari Perhatian
Dalam penelitian Are Close Friends the Enemy? Online Social Networks, Self-Esteem, and Self-Control (2013), Wilcox & Stephen mengungkapkan, pada dasarnya media sosial meningkatkan kecenderungan manusia untuk tampil begitu memikat secara online sehingga mengundang perhatian dari banyak warganet.
Tampilan di dunia maya dikurasi sedemikian rupa untuk terlihat socially desirable. Pengaturan ini semakin dipermudah dengan platform media sosial yang memang memberikan keleluasaan akses pada para penggunanya untuk membangun narasi dan identitas yang diinginkan lewat beragam fitur seperti filter kamera, musik, dan beragam font untuk teks. Narasi yang mampu menarik perhatian dari warganet tersebut akan meningkatkan harga diri dan martabat yang pada akhirnya menjadikan manusia memandang positif terhadap dirinya.
Membagikan momen pribadi di laman media sosial tak lagi sekedar membicarakan urusan pribadi, melainkan juga mengenai estetika dan kreativitas pembuatan konten. Semakin artistik tampilan kontennya, maka akan mengundang perhatian para pengguna lainnya.
Lagipula, ketika hari ini sudah begitu banyak pengguna yang membagikan pengalaman pribadi ketika mereka sedang berciuman, bertengkar dengan pacar, merayakan ulang tahun, atau bahkan curhat tentang jantung yang berdetak tak karuan setelah bertemu kembali dengan mantan, rasanya tak perlu ada kesungkanan untuk tidak melakukan hal yang sama pula di media sosial.
Mendulang Traffic dan Monetisasi
Tak selamanya apa yang diposting di media sosial menuai apresiasi dan penghargaan yang baik. Beberapa postingan justru menuai kontroversi dan mengakibatkan kemarahan netizen. Postingan gambar mesra atau yang menunjukkan bentuk tubuh seringnya dianggap sebagai konten dengan unsur pornografi yang kerap dianggap sebagai hal immoral.
Meski banjir tudingan, gugatan, dan komentar negatif, konten-konten tersebut tidak pernah benar-benar hilang dan masih selalu saja ada akun yang terus memposting, terutama dari kalangan selebriti. Seringnya, konten yang bertema seks kerap menjadi booming. Tidak hanya di media sosial, melainkan juga di media arus utama seperti media cetak, radio, dan televisi. Skandal dan konflik selalu memiliki nilai berita yang sangat tinggi sebab mampu menarik perhatian banyak audiens (Wilbur Schramm, The Nature of News, 1949).
Bagi media arus utama, cerita bertema skandal akan membuat audiens terus mengonsumsi berita di media sehingga dengan demikian menaikkan jumlah oplah dan menaikkan rating siaran. Tingginya jumlah oplah dan rating merupakan salah satu syarat bagi para pengiklan untuk memasarkan produk di medianya, sebab media tersebut memiliki banyak audiens.
Di media sosial, postingan yang memunculkan kontroversi juga akan meningkatkan traffic dan engagement, sebab perhatian warganet tersedot pada satu akun tersebut meski reaksi yang dituai lebih bersentimen negatif. Tidak terelakkan ketika satu akun tersebut memperoleh ketenaran dan malah mendapat tawaran endorsement beragam produk.
Mencari “Teman” yang Seirama
Bukan hanya sebagai tempat mencari perhatian, media sosial pun diyakini sebagai medium tempat berkumpul dan bertemunya orang-orang agar bisa saling mengerti dan dimengerti sehingga tidak ada keraguan untuk berekspresi dan merepresentasikan diri secara bebas (Back et al, 2010).
Ketika momen-momen intim tersebut dibagikan secara luas dan bebas di media sosial, ada pengharapan bahwa ‘teman-teman’ virtualnya akan mengerti mengenai perasaan, situasi yang mereka hadapi, dan kondisi yang mereka alami. ‘Teman-teman’ virtual yang juga mengalami atau pernah berada dalam posisi yang sama akan menyemangati dan memberi dukungan.
Associate professor dari Ilmu Komunikasi Cornell University, Natalie Bazarova, mengungkapkan di era digital ini lebih banyak orang-orang yang nyaman berkomunikasi dari depan layar ketimbang bertatap muka langsung dengan orang-orang. Mobilitas orang-orang semakin tinggi sehingga jarang memiliki waktu untuk memiliki keakraban bersama keluarga dan teman-teman, ataupun menjalin relasi baru secara offline.
Selain itu, setiap orang pun memiliki kendali penuh untuk mengontrol narasinya sendiri sehingga memiliki kekuasaan untuk menentukan narasi mana yang boleh dibagi, dan mana yang tidak. Dengan demikian terbentuklah keintiman hubungan antara diri dan ‘teman-teman’ virtual dan memunculkan sikap pengertian satu sama lain.
Sepintas, membagikan konten yang bersifat pribadi di laman media sosial bisa menjadi salah satu cara ampuh untuk mendapatkan perhatian dari banyak warganet lainnya. Namun ada hal-hal yang memang tak layak untuk dibagikan di depan publik. Sebagai pengguna media sosial, selalu bijak dalam membedakan mana yang patut atau tidak pantas untuk diketahui pengguna media sosial lainnya. Sebab jejak digital sulit sekali hilang ketika sudah berada di dalam arsip big data, dan publik pun akan menilai karakter dari konten yang diposting.